UU Perburuhan Hukum Perburuhan No.12 Th 1948
Hukum Perburuhan
No.12 Th 1948 Tentang Kriteria Status dan Perlindungan Buruh
Undang-undang
ini menjelaskan tentang aturan-aturan terhadap pekerja buruh dalam hal
persyaratan untuk menjadi seorang buruh, pengaturan jam kerja dan jam
istirahat, pemberian upah, perlindungan terhadap buruh perempuan, tempat
kerja dan perumahan buruh, tanggung jawab, pengusutan pelanggaran, dan
aturan tambahan.
Undang-undang ini berfungsi untuk melindungi buruh dari hal-hal yang tidak diharapkan.
Contoh Kasus :
Sungguh tak enak menjadi pekerja outsourcing. Mereka harus menggantungkan hidup dari kemurahan perusahaan pengguna jasa tenaga kerja (user). Penderitaan buruh outsourcing
makin lengkap ketika hubungan kerjanya dengan perusahaan penyedia jasa
tenaga kerja (agen) hanya terikat dalam perjanjian kerja waktu tertentu
(PKWT).
Kondisi itu juga yang dialami Ali, pria paruh baya yang lebih dari 15 tahun menjadi buruh outsourcing.
Di tengah isu kenaikan harga BBM -yang biasanya berujung pada kenaikan
harga bahan pokok- Ali malah menganggur. PT Bank Mandiri Tbk, user yang mempekerjakan Ali sebagai sopir, memutuskan tidak lagi memakai jasanya. Sialnya lagi, PT Puriasri Bhaktikarya (Puriasri) selaku agen ternyata ikut-ikutan memutus hubungan kerja dengan Ali.
Penderitaan
Ali kian bertambah tatkala Bank Mandiri maupun Puriasri sama sekali
tidak memberi uang pesangon atau uang penghargaan lainnya. Sepeser pun
saya tidak pernah menerima duit dari mereka (Puriasri atau Bank
Mandiri-red), ujar Ali lirih. Kini, Ali dibantu Organisasi Pekerja
Seluruh Indonesia (OPSI), sedang berjuang merebut haknya di Pengadilan
Hubungan Industrial (PHI) Jakarta.
Kepada hukumonline, Ali
menceritakan hubungan kerjanya dengan Puriasri dimulai sejak 1992. Ia
pun langsung ditempatkan di Bank Expor Impor Indonesia, salah satu bank
pemerintah yang ikut merger
membentuk Bank Mandiri pada bulan Juli 1999. Awalnya tidak ada
perjanjian kerja tertulis apapun antara Ali dengan Puriasri. Tanpa
sepengetahuannya, pada tahun 1996, Puriasri mengeluarkan PKWT yang
berlaku selama tiga bulan.
Setelah
itu, Ali ibarat panen PKWT. Pak Ali selalu diperpanjang berulang-ulang
PKWT-nya dan tetap bekerja di Bank Mandiri, timpal Timbul Siregar, kuasa
hukum Ali. Total PKWT yang ditandatangani Ali mencapai sembilan buah.
Masih saya simpan nih, kata Ali sembari memperlihatkan PKWT dimaksud
kepada hukumonline.
Bagi
Timbul, praktik kerja yang dilakukan Puriasri sudah menyalahi aturan.
Alasannya, kontrak kerja yang sudah berkali-kali dan melebihi waktu tiga
tahun, secara hukum akan berubah menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak
Tertentu (PKWTT). Artinya, Ali seharusnya sudah menjadi pegawai tetap
Puriasri. Dengan demikian, Puriasri tidak bisa memutus hubungan kerja
Ali secara semena-mena. Butuh penetapan PHI terlebih dulu dan kalau
memang diputus demikian, ia berhak atas pesangon dan lain-lain, tegas
Wakil Presiden OPSI itu. Fakta berbicara lain. Ali ternyata tidak
memperoleh apapun.
Masalah
Ali tidak berhenti disitu. Selama di Bank Mandiri, ia mengaku sering
dipekerjakan dalam waktu lembur. Upah lembur selalu dibayarkan langsung
oleh bank plat merah tersebut ke rekening pribadinya. Kalau upah bulanan
saya dapat dari Puriasri, jelasnya. Pada saat terakhir bekerja, ia
mengaku menerima upah lembur sebesar Rp9.000 tiap jamnya.
Jika
mengacu pada Keputusan Menakertrans No 102/2004 tentang Waktu Kerja
Lembur dan Upah Kerja Lembur, maka rumusnya upah lembur perjamnya
dihitung dari gaji perbulan dibagi dengan 173. Setelah dihitung-hitung,
seharusnya upah lembur Pak Ali ini sekitar Rp12.139, terang Timbul.
Merasa
hak-haknya dikangkangi, Ali tidak tinggal diam. Ia lantas menempuh
jalur penyelesaian hubungan industrial. Mediator Disnakertrans DKI
Jakarta memenangkannya. Puriasri dihukum untuk mempekerjakan Ali pada
jabatan dan posisi semula. Selain itu, Puriasri juga dianjurkan untuk
membayar upah selama proses penyelesaian perselisihan. Namun karena
Puriasri tidak menghiraukan anjuran Disnakertrans, Ali melanjutkan
perselisihan ke PHI.
Dalam
gugatannya, Ali menuntut Puriasri (Tergugat I) untuk dipekerjakan
kembali. Sedangkan Bank Mandiri (Tergugat II) dituntut untuk membayar
kekurangan upah lembur selama dua tahun sebesar Rp8,4 juta.
Langgar PKWT
Persidangan
perkara Ali sudah memasuki tahap jawab-jinawab. Semua dalil Ali
dibantah Puriasri. Misalnya, mengenai PKWT yang berulang-ulang. Puriasri
berdalih kontrak kerja antara Ali dan Puriasri berjalan insidentil dan
terputus-putus, sesuai kemampuan Puriasri memenangkan tender pengadaan
jasa di Bank Mandiri.
Agen
penyalur tenaga kerja itu juga berdalih PKWT yang dibuatnya tidak
menyalahi aturan. Menurut penghitungan Puriasri, sejak 1996 sampai akhir
2007, masa efektif kerja Ali hanya sekitar 18 bulan. Atau masih lebih
sedikit dari yang ditetapkan UU No 13/2003 (Ketenagakerjaan), yaitu dua
tahun. Dari hal kinerja, Puriasri juga ingin menunjukan kesalahan Ali,
seperti menyalahkan Ali ketika ia menghantamkan kendaraan ke trotoar.
Khusus mengenai PKWT berulang-ulang, Reytman Aruan, Kasubag Hukum dan
Organisasi Ditjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jamsostek
Depnakertrans, angkat bicara. Kepada hukumonline, ia menegaskan
UU Ketenagakerjaan sudah jelas mengatur hal tersebut. Kalau sudah
bertahun-tahun dan berulang-ulang, demi hukum, ia akan berubah menjadi
PKWTT, ungkapnya.
Secara tidak langsung Reytman ingin menyatakan bahwa Puriasri telah
salah kaprah dalam menghitung masa kerja Ali. Undang-undang menyebutkan
PKWT dapat dilakukan untuk maksimal dua tahun dan dapat diperpanjang
untuk maksimal satu tahun. Ingat! kata-kata kuncinya yaitu, maksimal.
Kalaupun PKWT dilakukan untuk tiga bulan, tiga minggu, tiga hari, tetap
saja namanya PKWT dan sudah harus dihitung itu, Reytman menguraikan.
Bank
Mandiri juga tidak mau kalah beradu argumen. Bank Mandiri seolah tidak
mau tahu apa yang terjadi dengan Ali. Alasannya, Ali hanya memiliki
hubungan kerja dengan Puriasri, bukan dengan Bank Mandiri.
Untuk menguatkan dalilnya, Bank Mandiri mengutip Pasal 1 angka 15 UU Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa hubungan
kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan
perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerja, upah dan perintah. Dalam kasus ini,
perjanjian kerja hanya terjadi antara Ali dengan Puriasri. Makanya,
Bank Mandiri menolak untuk membayar kekurangan upah lembur Ali.
Mengenai hubungan kerja ini, pakar Hukum Perburuhan Universitas Indonesia, Prof. Aloysius Uwiyono pernah berpendapat, hubungan kerja dalam outsourcing secara otomatis berpindah dari agen ke user. Hal itu karena unsur perintah dan pekerjaan berasal dari user. Sementara unsur upah, meski yang membayarkan kepada buruh adalah agen, tapi uangnya berasal dari user.
Komentar :
Outsourcing
adalah penyerahan sebagaian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan
lain diklaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat
secara tertulis. Kerugian dari pekerjaan outsourcing adalah pekerja
bekerja di bawah perintah perusahaan yang melakukan perjanjian dengan
perusahaan tempat mereka bekerja, sehingga pekerja outsourcing merasa
dirugikan dalam financial upah, jam kerja, dan tidak ada kenaikan
tingkat dalam jenjang karir.
UU Perburuhan No.12 Th 1964 tentang PHK
Hukum Perburuhan
Buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Hukum Perburuhan adalah suatu instrument hukum yang melindungi pemberi kerja dan penerima kerja.
No. 12 Th. 1964 tentang PHK
PHK hanya dapat dilakukan bila kaidah-kaidah yang terdapat dalam undang-undang dilanggar.
Undang-undang ini membahas tentang PHK, yang dilakukan oleh pengusaha agar pengusaha tidak memeberhentikan pekerja secara sepihak dengan alasan-alasan yang tidak sewajarnya.
Di dalam UU ini terdapat hal-hal yang tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk pemutusan hubungan kerja, pegawai-pegawai yang berhak mendapatkan PHK, pengajuan surat PHK oleh pengusaha kepada Panitia Daerah, pesangon dan tunjangan.
PHK hanya dapat dilakukan bila kaidah-kaidah yang terdapat dalam undang-undang dilanggar.
Undang-undang ini membahas tentang PHK, yang dilakukan oleh pengusaha agar pengusaha tidak memeberhentikan pekerja secara sepihak dengan alasan-alasan yang tidak sewajarnya.
Di dalam UU ini terdapat hal-hal yang tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk pemutusan hubungan kerja, pegawai-pegawai yang berhak mendapatkan PHK, pengajuan surat PHK oleh pengusaha kepada Panitia Daerah, pesangon dan tunjangan.
Malang benar nasib Nurely Yudha Sinaningrum. Perempuan yang menjadi staf
ahli anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ini harus kehilangan
pekerjaannya. Itet Tridjajati Sumarijanto, Anggota DPR dari PDIP, baru
saja memutuskan hubungan kerjanya selama ini. Ironisnya, PHK dilakukan
saat Naning –sapaan akrab Nurely- tengah hamil tua.
“Niatan untuk mem-PHK aku, sudah dia sampaikan sekitar bulan April (usia
kandungan 4 bulan). Alasan beliau, kalau melahirkan nanti aku akan
sibuk mengurusi bayi. Baginya, itu kerugian karena aku dianggapnya tidak
akan mampu bekerja secara penuh,” jelas Naning dalam siaran pers pada,
Rabu (17/8) lalu.
Pada 3 Agustus 2011, niat itu benar-benar dilaksanakan. Naning menilai
PHK yang dilakukan oleh Itet ini merupakan wujud dari tindakan
diskriminasi terhadap pekerja perempuan. Sebagai anggota DPR (mantan
Anggota Komisi IX yang membidangi masalah ketenagakerjaan) seharusnya
Itet dapat berperilaku adil terhadap pekerja perempuan.
“Ibu Itet lebih memilih mem-PHK pekerja perempuan yang hamil dan menggantinya dengan pekerja laki-laki,” tuturnya.
Padahal, lanjutnya, UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menjamin
hak pekerja perempuan ketika dalam keadaan hamil. Pasal 153 ayat (1)
huruf e menyatakan ‘Pengusaha
dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan: pekerja/buruh
perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya’.
Naning juga menuturkan alasan lain Itet memecat dirinya karena berpegang
pada ketentuan Setjen DPR RI bahwa staf ahli setiap saat bersedia
di-PHK bila anggota dewan menghendaki. Ia menilai peraturan ini
jelas-jelas melanggar aturan UU Ketenagakerjaan. Ia berharap ke depan UU
Ketenagakerjaan bisa ditegakan di Gedung DPR.
“Saya memperjuangkan agar aturan Setjen DPR RI berkaitan dengan pekerja
(asisten pribadi, tenaga ahli) lebih menghormati UU dan peraturan yang
berlaku di RI. Peraturan Setjen DPR RI tidak mencantumkan hak normatif
pekerja karena tidak memuat ketentuan THR, PHK, jam kerja, lembur, cuti,
libur, pesangon, jaminan sosial,” sebutnya.
Sementara, Itet mengaku sebelum mem-PHK Naning lebih dahulu
berkonsultasi kepada Setjen DPR. “Pada 3 Agustus, Staf saya melakukan
konsultasi ke Biro Hukum DPR RI ditemui oleh Bapak Jhonson Rajagukguk.
Menurut beliau aturan yang disampaikan sesuai UU Tenaga Kerja tidak bisa
disamakan kedudukannya dengan kondisi di Gedung Dewan,” jelasnya.
“Saya sebetulnya juga sudah menyiapkan dana sebesar 10 juta sebagai bentuk kemanusiaan,” sebutnya.
Itet juga menjelaskan sejak awal sebenarnya Naning tidak memenuhi syarat
umum untuk menjadi Staf Ahli Anggota DPR. Ia menjelaskan Naning hanya
memiliki IPK 2,5 sehingga tidak langsung diterima sebagai staf Itet,
walau akhirnya ia mengangkat Naning juga sebagai stafnya.
(www.hukumonline.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar